Laman

Senin, 17 Maret 2014

Kepemimpinan Perspektif Islam (al-mawardi)



Tahun 2014 ini Indonesia kembali di sibukkan dengan pemilihan umum (pemilu) yang mencakup pemilihan calon legislatif (caleg) dan calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres). Hal ini secara otomatis menguji kembali rasionalitas rakyat dalam memilih pemimpin yang kemudian menjadi penentu bagi kesejahteraan mereka dalam 1 periode. Lagi-lagi rakyat harus benar-benar jeli dalam mengambil keputusan. Bukan hanya karena dia (calon) teman, tetangga, kolega, maupun kerabat.
Sosok seorang pemimpin tentu sangat dibutuhkan dalam suatu negara. Tidak hanya itu, komunitas, himpunan, paguyuban, bahkan keluarga juga sangat membutuhkan seorang pemimpin. Tugas seorang pemimpin menurut al-mawardi[1] dalam kitab Ahkamus sulthaniyah, Abu Hasan al-Mawardi, adalah :
1.      Memelihara Agama bedasarkan undang-undangnya yang telah tetap dan bedasarkan apa yang telah disepakati Ulama Salaf Ummat
2.      menerapkan hukum terhadap yang berselisih, dan menyelesaikan sangketa diantara yang bersangketa sehingga keadilan menyeluruh.
3.      Menjaga keamana umum agar manusia bebas berusaha bebas mencari penghidupan dan dapat melakukan perjalanan dengan aman, tidak terancam jiwa dan hartanya
4.      Menegakkan Pidana, supaya terjaga apa yang diharamkan Allah, dan hak-hak hamba.
5.      Menguatkan ketahanan negara, dan menyiapkan kekuatan yang dapat menolak musuh.
6.      Berjihad melawan musuh-musuh islam setelah disampaikan dakwah untuk masuk islam atau menjadi dzimmi.
7.      Mengumpulkan harta fi’ (rampasan perang), dan shadaqah yang diwajibkan syara’
8.      Menetapkan pengeluaran dan hak-hak pada baitil mal (kas negara)
9.      Mengangkat orang-orang yang dipercaya  untuk memangku jabatan dan untuk menyerahkan hak  pengelolaan keuangan Negara.
10.  Mengendalikan langsung dan memeriksa urusan-urusan pemerintahan dan menyelediki keadaan
Terlepas dari tugas-tugas seorang pemimpin tersebut, seorang pemimpin juga harus masuk dalam kriteria-kriteria yang kemudian menjadi syarat bagi seorang pemimpin[2] diantaranya :
1.      Bersifat adil (al-’adalah). 
2.      Berpengetahuan (al-’alim).
3.      Memiliki kemampuan mendengar, melihat dan berbicara secara sempurna.
4.      Mempunyai kondisi fisik yang sehat.
5.      Memiliki kearifan dan wawasan yang memadai untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengatur kepentingan umum.
6.      Memiliki keberanian untuk melindungi wilayah kekuasaan Islam dan untuk mempertahankannya dari serangan musuh.
7.      Berasal dari keturunan quraissy.
Terkait dengan kepemimpinan ini, Allah SWT. Juga telah menyampaikan dalam salah satu ayat al-Qur’an-Nya yakni dalam surat al-hajji:41 yang artinya : “(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” Dan dalam surat An-Nisa:58 : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila mendapatkan hukum dan antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil,”
Tulisan ini tidak hanya sekedar coretan yang ditulis untuk mengisi kekosongan, namun harapan penulis masyarakat Indonesia dapat memilih pemimpinnya dengan jeli dan sesuai dengan kriteria pemimpin yang baik dan kemudian masyarakat mempunyai alasan atas pilihannya. Jadi bukan lagi karena “uang”. Di islam sendiri, ada yag namanya prinsip dasar kepemimpinan yang kemudian juga dapat membantu pembaca memahami betul perihal “kepemimpinan” ini. Islam memberikan dasar-dasar normatif dan filosofis tentang kepemimpinan yang bersifat komprehensif dan universal. Tidak hanya untuk umat Islam tapi juga untuk seluruh umat manusia. Prinsip-prinsip kepemimpinan dalam Islam adalah sebagai berikut:
                     I.            Hikmah, ajaklah manusia ke jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan nasehat yang baik lagi bijaksana (QS. al-Nahl:125). D
                  II.            Diskusi, jika ada perbedaan dan ketidaksamaan pandangan, maka seorang pemimpin menyelesaikan dengan diskusi dan bertukar pikiran (QS. al-Nahl:125).
               III.            Qudwah, kepemimpinan menjadi efektif apabila dilakukan tidak hanya dengan nasihat tapi juga dengan ketauladanan yang baik dan bijaksana (QS. al-Ahdzab:21).
                 IV.            Musyawwarah, adalah suatu bentuk pelibatan seluruh komponen masyarakat secara proporsional dalam keikutsertaan dalam pengambilan sebuah keputusan atau kebijaksanaan  (QS. Ali Imran:159, QS. As-Syura:38).
                   V.            Adl, tidak memihak pada salah satu pihak. Pemimpin yang berdiri pada semua kelompok dan golongan, (QS.al-Nisa’:58&135, QS. al-Maidah:8)
                 VI.            Kelembutan hati dan saling mendoakan. Kesuksesan dan keberhasilan Rasulallah dan para sahabat dalam memimpin umat, lebih banyak didukung oleh faktor performa pribadi Rasul dan para sahabat yang lembut hatinya, halus perangainya dan santun perkataannya. Maka Allah SWT menempatkan Muhammad Rasulallah sebagai rujukan dalam pembinaan mental dan moral sebagaimana firmannya, ”Laqad kana lakum fi Rasulillahi uswatun hasanah” (Sungguh ada pada diri Rasul suri tauladan yang baik), (QS. al-Ahdzab:21 dan al-Qalam:10).
              VII.            Dari prinsip dasar kepemimpinan Islami adalah kebebasan berfikir, kreativitas dan berijtihad. Sungguh amat luar biasa, sepeninggal Rasulallah para sahabat dapat menunjukkan diri sebagai sosok pemimpin yang mandiri, kuat, kreatif dan fleksibel.
            VIII.            Sinergis membangun kebersamaan. Mengoptimalkan sumber daya insani yang ada. Hebatnya Rasulullah salah satunya adalah kemampuan beliau dalam mensinergikan dan membangun kekuatan dan potensi yang dimiliki umatnya. Para sahabat dioptimalkan keberadaannya. Keberbedaan potensi yang dimiliki sahabat dan umat dikembangkan sedemikian rupa, sehingga menjadi pribadi-pribadi yang tangguh baik mental maupun spritualnya.[3]


[1] http://peutrang.blogspot.com/2013/05/10-tugas-pemimpin-menurut-imam-al.html?m=1
[2] http://ahmadnurcholish.wordpress.com/2008/09/05/tujuh-kriteria-kepala-negara-menurut-al-mawardi/
[3] http://ejournal.umm.ac.id/index.php/bestari/article/view/153/166

Selasa, 11 Maret 2014

Fenomena politik islam perspektif Islam di Indonesia



Pemikiran politik di indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini banyak diwarnai oleh politik yang mengatas namakan agama, hal ini dibuktikan rating partai politik islam lebih banyak di expose di berbagai media, baik media cetak maupun elektronik.
Menariknya, yang lebih banyak di expose di berbagai media cenderung membicarakan konflik daripada kerjasama politik, konflik yang dimaksud adalah terjadinya kesenjangan di internal partai politik itu sendiri. Pada tahun 2012, salah satu partai politik yang mengatas namakan partai islam melejit di berbagai media, di isukan telah melakukan tindak korupsi yang berupa pencucian uang terkait impor daging sapi.
Keadaan tersebut tentunya bertentangan dengan syariat islam yang mengharamkan seseorang melakukan tindak korupsi. Hal ini sangat menarik karena kesenjangan yang terjadi di internal partai politik sendiri bertentangan dengan basic perjuangannya. Anehnya, partai politik yang mengatas namakan islam selalu ingin menolak praktek korupsi itu sendiri. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah “islam” ini benar-benar ajaran yang menjadi tuntunan mereka atau hanya sekedar penarik perhatian masyarakat indonesia yang mayoritas ber agama islam.
Tentu kasus-kasus yang banyak dibicarakan di berbagai media ini sontak membuat masyarakat indonesia heran karena mereka yang mengaku “islam” melanggar syariat yang telah diajarkan oleh agama padahal Politik Dalam Islam Sebagai agama yang sempurna, islam mengatur semua aspek kehidupan manusia, mulai urusan sederhana seperti adab makan, tidur, ke kamar mandi dan seterusnya, sampai urusan keumatan bertetangga, bermasyarakat, dan bernegara. Sayangnya, selama ini banyak yang memahami islam dalam pengertian sangat sempit, yaitu sebatas ritual ibadah saja.[1] Kita harus prihatin dengan pola pikir masyarakat yang semakin sempit ini karena jika terus menerus seperti itu islam akan semakin sulit untuk berkembang. Sebaliknya, menghadapi kondisi tersebut, sebagian umat islam justru secara membabi buta mengadopsi semua ajaran bahkan  nilai yang berasal dari luar. Mereka begitu bangga dengan kemajuan dunia barat. Dan mereka menilai bahwa memang sudah saatnya bagi islam untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Biasanya kelompok inilah yang dikenal sebagai kaum liberalis. Kedua sikap ekstrim tersebut tentu tidak menguntungkan.[2]
Selanjutnya, masyarakat harus jeli dalam memilih wakil mereka untuk memperjuangkan nasib bangsa ini. Masyarakat harus bisa membedakan mana yang benar-benar mempunyai misi untuk mensejahterakan rakyat atau hanya selogan-selogan yang di rangkai dengan bagus namun tak ada implementasi yang nyata ketika sudah menduduki kursi pemerintahan. Selain itu, perlu kita sadari bahwa manusia bukanlah makhluk yang diciptakan untuk membuat hukum baru namun sebagai penggerak hukum yang telah diciptakan oleh allah SWT. Kalaupun kemudian ada oknum-oknum yang membuat peraturan-peraturan baru dengan tujuan untuk mengimbangi perkembangan zaman, hal tersebut harus tetap sejalan dengan apa yang Allah tetapkan.
Dalam ranah politik, islam juga mempunyai prinsip-prinsip dan landasan yang telah banyak dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Misalnya penegakan syariat. Selain itu, faktor-faktor penting dalam politik islam yakni Tauhid, Risalah, dan  Khilafah. Ketika faktor-faktor tersebut ditegakkan, maka ranah politik di Indonesia akan berubah ke arah yang lebih baik.